Pada suatu hari...satu April, dua orang sahabat tengah berdiskus tentang asal mula budaya April Fool. Begitu misterinya masalah ini, sampai-sampai tak ada satu sumber resmi pun yang dapat dijadikan acuan. Nampaknya di dunia ini tak ada satupun orang yang yakin mengenai asal-usul terciptanya budaya April Fool.
“Hari ini benar-benar hari yang bodoh, sampai-sampai semua orang berlomba-lomba membodohi orang lain. Sebenarnya, apa sih yang melatarbelakangi munculnya hari ini?” tanya sahabat pertama membuka wacana,
“Benar. Saya juga setuju kalau hari ini benar-benar hari yang tidak bermanfaat. Budaya April Fool benar-benar tidak mendidik dan tidak ada gunanya. Lucunya, hampir semua orang di dunia seperti merayakannya. Seolah mereka tidak pernah berbohong di hari-hari yang lain,” ujar sahabat kedua.
“Heran saya. Kamu sendiri, apa pernah dengar tentang asal-muasal April Fool?” sahabat pertama bertanya lagi.
“Iya, saya pernah dengar walau tak begitu jelas. Katanya dahulu kala, masyarakat kuno merayakan tahun baru pada tanggal satu April, atau sekitar tanggal itu. Sebenarnya terdapat satu minggu perayaan tahun baru itu. Nah, saat terjadi perubahan sistem kalender, mereka tetap mempertahankan budaya perayaan tahun baru kuno tersebut, sehingga ada hari spesial di tanggal satu April, digunakan untuk bersenang-senang, bahkan membohongi orang lain untuk bercanda,” jelas sahabat kedua.
“Wah kalau yang itu saya sudah dengar. Tapi menurut para peneliti, ternyata data-data yang digunakan untuk membuktikan bahwa tahun baru kuno jatuh pada satu April dan sekitarnya, adalah tidak tepat. Dengan kata lain, itu bukan asal-usul April Fool yang sebenarnya!” sahabat pertama membantah.
“Hmm.... Oh iya, saya juga pernah dengar kalau ada seorang profesor yang saya lupa namanya siapa, menemukan sejarah April Fool. Katanya, dahulu kala, karena suatu hal, seorang raja memberikan wewenang kepada pelawak kerajaan untuk menggantikan posisinya sebagai raja selama satu hari, yaitu tanggal satu April. Kemudian pelawak kerajaan itu, menggunakan masa kekuasaannya untuk memberikan lelucon dan teka-teki kepada rakyat selama sehari penuh, yang merupakan teka-teki berisi amanat bijak. Nah, karena pelawak kerajaan disebut juga ‘Fool’, maka tanggal satu April diperingati sebagai April Fool!” sahabat kedua mencoba menjelaskan lagi.
“Oh yang itu saya juga sudah dengar! Kamu tidak sadar ya? Bahwa Si Profesor mengumumkan hasil penelitian sejarahnya itu pada tanggal satu April, yang berarti, kisah raja sehari itu hanya kebohongan yang dibuat si profesor untuk menipu masyarakat di hari April Fool!” sahabat pertama kembali menyanggah.
“Saya tidak tahu akan hal itu. Kalau begitu apa ya? Sangat membingungkan sekali. Saya juga pernah dengar sih, katanya pada tanggal satu April dulu pernah terjadi pembantaian besar-besaran umat Muslim, dan lelucon April Fool dibuat untuk menutup-nutupi sejarah itu. Tapi saya takut ini juga salah satu permainan April Fool yang dibuat orang.”
Di saat kedua orang itu sedang bingung dan berpikir dengan serius, mereka sadar bahwa sedari tadi ada seseorang yang ikut menyimak diskusi mereka. Orang tersebut adalah seorang filsuf yang dituakan dan dihormati di daerah itu. Lalu sambil tersenyum bijak, sang filsuf datang menghampiri mereka.
“Tampaknya menarik sekali diskusi kalian berdua,” ucap Sang Filsuf.
“Iya, kami sedang membahas asal-usul budaya April Fool. Tapi kami masih belum mendapatkan satu pun jawaban yang memuaskan. Semua data yang pernah kami dengar tampak tak berdasar dan kurang dapat dipercaya,” ucap sahabat kedua.
“Kami tidak tahu harus mencari acuan dari mana lagi. Apakah Anda punya pendapat sendiri tentang masalah ini?” tanya sahabat pertama.
Sang Filsuf yang bijaksana kemudian duduk di antara mereka berdua. Ia menunjukkan tatapan matanya yang penuh dengan pengalaman dan ilmu pengetahuan. Senyuman di bibirnya menunjukkan keramahan dan kedermawanan.
“Wahai para pemikir yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Apa kalian yakin ingin mengetahui asal-usul April Fool yang sebenarnya? Saya takut kalian akan menyesal nanti,” ucapnya dengan tenang.
“Tidak apa-apa. Kami tidak akan kecewa, kami percaya dengan pengetahuan dan kebijaksanaan yang Anda miliki,” jawab sahabat pertama.
“Iya, itu benar. Kami ingin mengetahui kebenaran yang hakiki,” tambah sahabat kedua.
“Baiklah, kalau begitu saya akan memberitahukan sebuah kenyataan yang nihil,” Sang Filsuf memejamkan matanya sesaat dan menarik nafas dalam, “sebuah kenyataan yang pahit dan hampa, bahwa sebenarnya, April Fool....”
Dua orang sahabat menatap Sang Filsuf dengan tegang. Jantung mereka berdetak kencang, layaknya seseorang yang menunggu keputusan dari hakim. Sesaat lagi mereka akan mendengarkan jawaban bijaksana dari seorang filsuf legendaris. Mulut mereka menganga lebar.
“...tidak pernah ada,” Sang Filsuf mengakhiri ucapannya dengan tegas.
Jantung kedua sahabat itu seperti berhenti berdetak sesaat. Otak mereka berusaha mencerna jawaban singkat Sang Filsuf.
“Tidak pernah ada?!” seru keduanya hampir bersamaan.
“Ya. Tidak pernah ada. April Fool, satu hari dimana orang-orang membuat lelucon dengan saling berbohong, sesungguhnya tidak pernah ada.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Karena, keberadaan April Fool itu sendiri, adalah sebuah kebohongan!” Sang Filsuf menatap tajam.
“I...itu berarti..., seseorang pada tanggal satu April pernah berkata bahwa ‘hari ini adalah April Fool dimana orang-orang boleh berbohong’, padahal ia sendiri sedang berbohong?!” sahabat pertama terkaget-kaget, keringat menetes di keningnya.
“Kebohongan di atas kebohongan! Kebohongan yang melahirkan dan menciptakan kebohongan lain! Kebohongan tentang kebohongan!” sahabat kedua berdiri sambil merasa bangga telah mengerti ucapan Filsuf.
“Benar. Itulah kebohongan sejati. Kebohongan paling besar yang pernah dibuat umat manusia,” Sang Filsuf menyimpulkan.
Dengan mata yang bebinar-binar, kedua sahabat bergantian menyalami Sang Filsuf. Kemudian mereka berdua mengundang Sang Filsuf untuk makan malam bersama sebagai ucapan terima kasih atas pencerahan yang telah mereka dapatkan. Sang Filsuf pun menyetujui tawaran mereka.
Beberapa saat kemudian, kedua sahabat itu pun pulang ke rumah masing-masing. Mereka pergi dengan wajah berseri-seri dan tanpa beban sama sekali. Sementara itu, Sang Filsuf bijaksana yang ditinggal sendirian tersenyum lebar penuh makna.
Sang Filsuf mengangkat kedua tangannya di depan dada, kemudian mengayunkannya cepat, sambil berkata, “ ...yesss! Kena!!!”